Oleh : Faozi Latif, SHI*
Belum lama Majlis Tarjih Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haramnya rokok. Fatwa yang ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah (Prof Dr. H Syamsul Anwar, MA dan Drs. H. Dahwan, M.Si), dikeluarkan pada tanggal 22 Rabiul Awal 1431 H bertepatan dengan 08 Maret 2010 M. Fatwa itu luar biasa walaupun agak terlambat. Luar biasa karena selama ini rokok bukan hanya dikonsumsi oleh masyarakat biasa, tetapi kalangan petinggi Muhammadiyah bahkan sebagian anggota Majlis Tarjih di daerah sebagai perokok aktif. Fatwa ini sekaligus menghapuskan fatwa sebelumnya yang mengatakan bahwa rokok hukumnya mubah atau boleh tapi lebih baik ditinggalkan (tahun 2005).
Dibilang terlambat karena jauh sebelum ini (Januari 2009) MUI sudah lebih dahulu mengeluarkan fatwa ini. Walaupun fatwa haram versi MUI masih sedikit abu-abu, belum secara jelas mengharamkannya. Tidak semua orang haram merokok versi MUI. Mereka hanya ibu hamil, anak-anak dan orang dewasa yang merokok ditempat umum.
Selama ini memang tidak ada kalangan yang secara jantan mengatakan bahwa rokok hukumnya halal. Minimal sekali mengatakan makruh dan sebagian kecil mengatakan haram. Tetapi yang mengatakan harampun baru sebatas individu perindividu, belum menyentuh jamaah yang banyak.
Yang menarik adalah selama ini anggota Muhammadiyah dan simpatisannya tidak pernah bisa digiring pada satu buah statemen. Dalam politik, warga Muhammadiyah mempunyai kecenderungan sendiri-sendiri. Tokoh sekaliber Amin Rais tidak bisa menyatukan suara Muhammadiyah dalam pencalonan Presiden. Apalagi warga Muhammadiyah di level bawahnya. Maka tidak heran kalau pencalonan calon anggota DPD dari Muhammadiyah di Jateng harus menelan pil pahit.
Bahkan dalam kehidupan beragamapun, warga Muhammadiyah beragam. Memang ada ciri khas tertentu, tetapi ketika diteliti masih banyak warga Muhammadiyah yang menerapkan aturan agama secara mandiri. Sehingga Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) tidak mampu menyeragamkan gerak laku mereka. Sehingga ada tokoh Muhammadiyah di Cilacap yang mengatakan bahwa Muhammadiyah tidak bisa dihancurkan, tetapi sangat sulit untuk disatukan.
Untuk Siapa Fatwa Haram Rokok
Majlis Tarjih Muhammadiyah memberikan fatwa haram rokok berlandaskan kepada beberapa hal. Pertama, Maqashidus Syariah, bahwa pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya suatu kondisi hidup sehat yang merupakan hak setiap.
Kedua, merokok merupakan perbuatan melakukan khabais (pebuatan keji) yang dilarang dalam Al-Quran (QS 7:157). Perbuatan merokok mengandung unsur menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan bahkan merupakan perbuatan bunuh diri secara perlahan. Perbuatan itu juga di samping membahayakan diri sendiri juga membahayakan orang lain yang ada di sekitarnya. Maka pembelanjaaan terhadap rokok merupakan hal yang sia-sia (mubazir).
Tentunya Majlis Tarjih memfatwakan itu, lebih dahulu untuk diteladani oleh warga Muhammadiyah. Kemudian nanti warga lain akan mengikut dibelakangnya. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah fatwa ini difahami sama oleh semua Majlis Tarjih dan warga Muhammadiyah di daerah?
Seperti penjelasan di awal bahwa sangat sulit untuk menyatukan warga Muhammadiyah. maka bukan tidak mungkin Majlis Tarjih pusat memfatwakan rokok haram, tapi Majlis Tarjih daerah tidak sampai mengharamkan, atau minimalnya enggan berkomentar. Ketika keadaan seperti ini, bagaimana dengan warganya. Bukan hal yang mustahil warga akan lebih memilih hukum yang lebih longgar.
Sepertinya fatwa ini tidak akan terlalu menggigit, sama dengan fatwa MUI. Bukan karena tidak ada yang mendukung, tetapi yang terkesan mengabaikan akan lebih banyak. Pemerintahpun seakan setengah hati ketika mencantumkan peringatan disetiap bungkus rokok. di satu sisi rokok berbahaya, tetapi di sisi lain pemasukan dari rokok sangat besar. Apalagi serbuan iklan rokok yang sangat merajalela. sehingga peringatan pemerintah hanya sebagai pajangan atau aksesoris yang tidak perlu dibaca. Bahkan dalam iklan, rokok diidentikkan dengan ciri khas kejantanan seseorang.
Ke depan mungkin semua petinggi organisasi keagamaan idealnya bisa menggandeng organisasi lain ketika akan menelorkan fatwa yang menyangkut masyarakat luas. Sehingga efek yang ditimbulkan akan lebih kuat dan mengakar. Jangan ada kesan hanya sebatas show of force dari masing-masing organisasi ketika menelorkan fatwa.
Kedua, memang dibutuhkan kerendahan hati untuk menerima hasil fatwa. memang betul fatwa adalah produk manusia yang kebenarannya relatif. jelas dia tidak bisa mengalahkan kebenaran absolut Al-Quran Dan Hadits. Tetapi fatwa adalah tafsir dari sumber yang absolut yang dilakukan oleh orang-oang yang sudah qualified. Tidak sembarang orang berhak berfatwa, dia harus memiliki landasan ilmu pengetahuan yang cukup.
Mengikuti fatwa adalah bagian dari ijtihad kita. Ketika ijtihad kita benar, kita mendapat dua pahala. Tetapi ketika ijtihad itu salah maka kita tetap mendapatkan satu pahala. Terakhir jangan kita menolak fatwa haram rokok karena kita tidak bisa menghentikan kebiasaan merokok. Atau dengan percaya diri mengatakan bahwa kita juga berhak berijtihad yang berbeda dengan ijtihad pengharam rokok.
* Pimpinan Redaksi Buletin AL-Qolam dan Aktivis Pemuda Muhammadiyah Karangpucung Cilacap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar