Oleh : Faozi Latif
“Kamu mau tidak, jadi da’inya As-Shaffa?” pertanyaan ini sangat mengagetkanku. Bukannya karena aku tidak bisa berdakwah, itukan makanan keseharianku. Tapi diutus untuk menjadi da’i di wilayah yang sama sekali belum aku ketahui, hmmm… kayaknya harus pikir-pikir lagi!
“Selama Ramadlan kan libur, paling kamu pulang kampung,” pertanyaan kali ini semakin memojokanku. Aku tahu menolak berdakwah itu berdosa, coz setiap orang wajib berdakwah, aku ingat salah satu Hadis Nabi ‘sampaikan apa yang datang dariku walaupun hanya satu ayat’. Orang yang hanya hafal satu ayat saja wajib berdakwah apalagi aku santri Ma’had Al-Irsyad Salatiga, yang sudah beberapa kali membaca bulughul maram, fathul majid, dan beberapa kitab lain.
“Begini saja, saya yakin kamu di kampung juga berdakwah, tapi kalau kamu menjadi da’inya As-Shafa, selain dapat amal shaleh, teman baru, dan kamu juga akan dapat honor lho,” Ustadz Imran tahu aja kelemahanku. Aku jadi tersenyum malu. Hee…boleh juga pikirku, itung-itung nambah jatah THR-ku.
# # #
“Kamu saya utus ke Banyumas,” Ustadz Imran memberikan keterangan ketika aku sudah tak kuasa menolak beliau. Sempat aku bertanya kenapa harus aku yang menjadi da’i, yang dijawabnya dengan santai ‘Kalau kamu mau, kenapa cari yang lain’. Sebelum aku menyatakan siap, aku mengajukan syarat tiga hari sebelum lebaran aku boleh pulang, yang diamini oleh beliau. So, deal-lah kesepakatan.
“Di sana kamu akan bertemu dengan Pak Rusydi, pengurus Mesjid At-Taqwa,” Ustadz Imran menambahkan. Kemudian aku diberikan rute dan kendaraan yang harus aku tumpangi.
“Kapan aku harus berangkat?” aku mencoba bertanya.
“Lebih cepat lebih bagus,” Ustadz Imran menjawab. “Kira-kira kapan kamu siap diterjunkan,” aku tersenyum mendengar kata-katanya. Emangnya terjun payung.
“Besok tanggal satu Ramadlan, gimana kalau sekarang kamu berangkat, biar tidak kesorean,” Ustadz Imran memberi usul. Menurutnya jarak tempuh ke lokasi dari Yogya sekitar empat jam. Sedangkan sekarang jam sebelas lewat lima menit, berarti sampai lokasi sekitar jam tiga.
Aku pikir boleh juga. Kalau berangkat besok sudah puasa. Sedangkan bepergian jauh, ketika berpuasa pasti melelahkan. Akupun mengiyakan dan berpamitan kepada Ustadz Imran dan beberapa staff yang lain.
“Nanti aku kontak Pak Rusydi, kamu tinggal datang ke rumahnya dan bilang bahwa kamu utusan Ustadz Imran dari Yayasan As-Shoffa,” beliau menambahkan sambil menjabat erat tanganku.
Sebelum aku pergi, Ustadz Imran memberikan beberapa lembar kertas bergambar mantan Presiden Soeharto, aku hitung ada sepuluh. He…he.. .
# # #
“Bagaimana perjalannya Fauzi,” Pak Rusydi menyambutku dengan ramah, bagaikan menyambut kedatangan anak semata wayangnya yang sudah lama merantau. Aku senang sekali ditanya langsung memakai namaku, berarti Ustadz Imran sudah meneleponnya dan menjelaskan siapa aku sebenarnya.
“Alhamdulillah menyenangkan,” aku menjawab dengan muka berseri. Bukan hanya karena sudah menemukan tempat tinggal Pak Rusydi, tetapi juga keramahan yang sangat tulus terpancar dari wajahnya. Ternyata mencari rumah di desa sangat mudah. Asal tahu nama, semua orang tahu rumahnya. Itulah pengalamanku ketika menanyakan rumah Pak Rusydi di sebuah warung nasi.
Pak Rusydi tinggal bersama istri dan satu anak lelaki yang sebaya umurnya denganku. Beliau mengajar di SMP Negeri tak jauh dari rumahnya. Sedangkan istrinya adalah ibu rumah tangga biasa. Andi, nama anaknya droup out dari IPB, belum tahu persis sebabnya.
“Kamu pasti lelah, sekarang minum dulu airnya mumpung masih hangat,” Pak Rusydi mempersilahkan aku minum teh manis yang baru saja di sediakan oleh istrinya. Sambil minum teh manis dan makan Goreng Ubi, Pak Rusydi menceritakan perjalan hidupnya sampai bisa tinggal di Banyumas.
“Sebetulnya saya asli Pekalongan, kebetulan diangkat PNS di desa ini, sekaligus mendapatkan istri orang sini juga, jadi saya tinggal disini.”
Yang menarik saya adalah cerita beliau tentang adanya sebuah gua yang terletak di bukit desa sebelah yang sering dipakai untuk prosesi ibadah agama tertentu. Kalau tidak salah namanya Gua Maria.
Sayang sekali mulutku tidak mau kompromi sehingga aku menguap sampai beberapa kali. Secara otomatis ‘dongeng’ hari ini selesai, dan aku didaulat masuk kamar untuk istirahat.
# # #
Malam ini tarawih pertama. Aku agak kikuk ketika berangkat ke masjid. Aku takut jumlah rakaat shalatku berbeda dengan masyarakat di sini. Kenapa tadi di rumah aku tidak mencari info terlebih dahulu pada Pak Rusydi, aku mengumpat sendiri dalam hati. Untungnya aku tidak disuruh menjadi imam. Tidak kebayang kalau aku menjadi imam shalat dan ternyata aku melakukan sesuatu yang tidak biasa dilakukan oleh masyarakat, bisa-bisa saat itu juga aku dipulangkan karena dianggap menyebarkan ajaran sesat.
Masyarakat umum biasanya memandang masalah fikih adalah nomor satu. Perbedaan di dalamnya bagaikan perbedaan aqidah. Maka aku harus sangat hati-hati untuk urusan ini.
Seperti ramadlan sebelumnya, sehabis shalat tarawih ada ceramah singkat yang sering disebut kultum. Pak Rusydi yang kebetulan menjadi imam tarawih langsung mempersilahkan aku untuk menjadi pembuka kultum di ramadlan ini. Dengan gaya kyai senior, aku mengawali kultum dengan muqadimah yang sangat lengkap. Aku menjelaskan tentang puasa dan hal-hal yang sunah untuk dilakukan. Surat Albaqarah ayat 183 tak lupa menjadi referensi utama.
Usai ceramah aku dikelilingi oleh bapak-bapak yang ingin sekedar berkenalan dan bertanya sesuatu. Suasana kekeluargaan seperti inilah yang slalu ku rindukan. Suasana yang jauh dari sifat individualistis. Ketika ada orang baru, apalagi da’i seperti aku, disambutnya dengan sangat terbuka.
Perbincangan berlanjut pada aktivitas yang biasanya dilakukan dalam rangka meramaikan Masjid At-Taqwa. Seorang jamaah menjawab dengan sedikit keluhan bahwa aktivitasnya sangat kurang. Beliau menginginkan adanya pengajian Bapak-bapak, pengajian Ibu-ibu dan pengajian umum. Selama ini yang ada hanya pengajian anak-anak sore hari yang diajar oleh Kanti.
Topik yang terakhir ini membuatku sangat tertarik untuk mengoreknya.
“Siapa Kanti, Pak,” aku mencoba bertanya.
“Dia anaknya Pak Rustam, masih SMA kelas tiga, tapi semangatnya luar biasa,” salah satu jamaah memberikan penjelasan.
“Kalau dia tidak ada otomatis anak-anakpun libur mengaji, soalnya tidak ada pengganti,” jamaah yang lain menambahkan.
Aku mengambil nafas tertahan menyayangkan hal ini. Ternyata masih ada daerah yang sangat memerlukan guru ngaji.
Malam semakin larut, satu dua orang jamah sudah lebih dahulu pamit pulang.
# # #
Matahari masih menyisakan panasnya sore ini. Aku sengaja pergi ke Masjid untuk melihat anak-anak mengaji, sekalian aku ingin berkenalan dengan gurunya. Siapa ya….. aku coba mengingat-ingat. Kanti…, ya itulah namanya. Akhirnya aku ingat juga, maklum seringkali aku tidak terlalu menghapal nama, apalagi nama perempuan. Takut mengotori hati, cie…..
Alif, Ba…, dari luar sayup-sayup terdengar suara anak-anak mengaji. Dan beberapa kali pengulangan karena pengucapan kata-katanya kurang fasih. Ada sekitar dua puluh anak laki-laki dan perempuan yang ikut mengaji. Dan memang benar ternyata hanya seorang guru yang mengajar.
‘Shadaqallahul Adziem’, suara anak-anak serempak mengakhiri belajar Qurannya.
“Assalamu ‘Alaikum,” aku mencoba mendekati Kanti dengan tetap menjaga jarak. Dia bukan muhrimku, batinku berkata.
“Walaikum salam warahmatullah wabarokatuh, eh mas Fauzi” Kanti menjawab salamku dengan lengkap. Sambil membereskan beberapa buku iqra ke tempatnya, dia mengucapkan terimakasih kepadaku yang sudah mau mengajar di kampungnya. Aku sangat tersanjung dengan ucapannya, apalagi yang mengucapkan akhw…eh maksudnya cewek.
Saat itulah aku berusaha mencari informasi untuk program dakwahku. Kanti sepertinya sangat senang sekali, dan bisa berbagi peran dalam berdakwah denganku.
“Di sini ada juga LSM yang bergerak dalam bidang anak, tapi kurang tahu namanya, aktivitas mereka biasanya hari minggu,” Kanti menjelaskan dengan semangat. Menurut dia kegiatan LSM itu diantaranya menggambar, membaca dan beberapa kali rekreasi keluar.
“Berarti di samping anak-anak mendapatkan ilmu agama, mereka juga dapat ilmu lain ya,” aku salut juga ada LSM yang sampai ke desa untuk mengajar anak-anak.
# # #
Seperti biasa sehabis shalat shubuh aku melakukan olah raga sebentar. Lari pagi selama setengah jam agar jantungku sehat.
Suasana sangat sepi, hanya beberapa ibu-ibu yang terlihat membawa sayuran. Mungkin mau dijual ke pasar, pikirku.
Di kejauhan aku melihat kerumunan anak-anak dengan pakaian sudah rapi. Mungkin mereka akan rekreasi, atau lari pagi? Tak sabar akhirnya aku mendekat ke kerumunan mereka. Ternyata anak-anak itu mengelilingi seorang anak muda yang memakai kaos warna hijau kuning. Ada tulisan LSM pemerhati anak. Oh berarti ini yang sering mengajari anak-anak. Beruntung sekali aku bertemu dengan mereka. Ingin sekali rasanya bertukar pikiran dan berbagi pengalaman selama mendampingi anak. Langkahku semakin mendekat ke kerumunan anak-anak. Beberapa anak terlihat tertawa riang, seperti sedang mendapatkan hadiah. Bahkan beberapa anak laki-laki berebut mengambil sesuatu yang ada di tangan seorang anak muda itu. Aku tersenyum dengan tingkah mereka. Ketika jarakku dengan mereka sudah tidak bersekat, hatiku kelu, mulutku tak mampu bersuara, ternyata mereka memang sedang membagikan sesuatu. Permen….!!
# # #
Hari Minggu besok anak-anak akan diajak rekreasi oleh mas-mas dari LSM, Mas Fauzi bisa ikut mendampingi ga? Maaf bukan Kanti Suudzon, tapi Kanti curiga dengan LSM itu.
Sebuah surat tertanda Kanti singgah ke tanganku melalui perantara Agus adik bungsunya. Sudah beberapa kali dia menulis sesuatu kalau ada hal penting dan mendesak.
Surat tersebut mengingatkan aku ketika salah seorang pengurus LSM tersebut membagikan permen. Mungkin firasat Kanti benar, aku ingin tahu aktivitas mereka di luar.
Tepat jam 7 pagi Hari Minggu, aku sudah mandi dan bersiap untuk pergi. Aku mengajak Andi, anaknya Pak Rusydi untuk ikut dalam ‘misi’ ini. Kebetulan aku ga terlalu pandai mengendarai sepeda motor, so… Andilah yang jadi ojeknya.
Bus mini yang membawa rombongan anak-anak bergerak ke arah selatan, ke daerah Buntu*, meninggalkan segudang tanya yang ada di benakku. Dan dengan setia akupun mengikuti mereka dengan tetap menjaga jarak. Aku tidak mau aksiku membuntuti mereka diketahui. Ternyata rombongan mengarah ke Pantai Widara Payung. Sebuah pantai yang masih tergolong sepi dan cukup aman untuk membawa anak-anak untuk berenang. Hmmm, …… ternyata kecurigaanku tidak terbukti. Akupun merasa sedikit bersalah karena sudah mencurigai mereka.
Kurang lebih satu jam anak-anak dan tiga pengurus LSM tersebut berpesta air. Aku tersadar ketika mobil mulai bergerak kembali ke arah selatan, jalan pulang. Maafkan aku teman, aku sudah mencurigai kalian, bisikku dalam hati dan mohon ampun kalau sudah menodai amaliah puasaku.
Bus mini melaju dengan kencang diselingi dengan suara-suara mungil terdengar oleh telingaku. Ah senangnya jadi anak-anak !!!
Desa yang dituju sudah terlewat, tetapi ternyata bus tetap berjalan pelan. Mungkin masih ada wisata yang lain, begitu ujarku pada Andi di depanku.
Bus berbelok melewati jalan kecil tak beraspal, dan kemudian berhenti ketika jalannya tidak cukup dilewati mobil. Anak-anak keluar berhamburan diikuti tiga pengurus LSM itu. Mereka berjalan kaki melewati jalan setapak, sambil menyenandungkan lagu-lagu dan yel-yel penggugah semangat. Beberapa ilalang tumbuh di sepanjang jalan itu. Mungkin ada acara out bond, pengenalan alam pada anak-anak. Memang pendidikan alam seharusnya diberikan pada anak-anak. Agar mereka merasa memiliki alam dan bisa menjaganya.
Akhirnya sampailah pada sebuah dataran yang cukup luas. Mereka semua berhenti berjalan. Jantungku berdetak kencang…..
Di depanku terlihat sebuah gua. Dan tepat di atas pintu gua ada sebuah tanda yang sangat jelas terlihat dari jarak lima belas meter, tempat aku bersembunyi. Palang kayu yang sudah cukup tua tapi masih terlihat kuat. SALIB !!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar