Oleh : Asih Mulyani
“Bilang gak yah?” pikirku dalam hati.
“Kenapa Rit?”
“Eh, … enggak!” Aku kaget ketika Dina menepuk pundakku.
Jam menunjukkan pukul 14.00. Aku berjalan dengan penuh kepastian menuju halte bis, tempat dimana aku biasa menunggu. Cuaca hari ini lumayan panas. Mentari seakan menjilat kulitku.
“Panas juga ya Rit?”
“Ya…ya…ya!” spontan aku menjawab tanpa aku pikir terlebih dahulu. Aku menatap Dina yang tiba-tiba tengah duduk bersamaku.
“Sejak kapan kamu di sini?”
“Aku…..?!”
“He…..eh!”
“Dari tahun lalu kali……” jawabnya dengan laga sok imut.
“Ihhh…!”
Brem … bremmm.
Bis yang aku aku tunggu akhirnya dating juga. Seperti biasa aku duduk di urutan pertama dari arah pintu. Beruntung bis tidak terlalu sesak, jadi aku tak harus berebut kursi. Dengan terus berfikir, aku tak henti-hentinya memandang benda yang aku temukan kemarin sepulang sekolah.
Akhirnya tiba juga aku di depan rumah. Aku menghirup nafas lega.
“Assalamu ‘alaikum!”
Tanpa menunggu jawaban aku langsung masuk dan melangkah menuju ke kamarku. Ku tatap jendela yang tengah terbuka dank u bayangkan apa yang harus aku lakukan.
***
Tiga hari telah berlalu. Bumi berotasi seperti biasa. Tapi tidak dengan diriku.
Di manapun aku berada, aku terhanyut dalam kebingungan.
Ku coba cari pemilik barang yang aku temukan itu, tapi hasilnya selalu nihil.
Apa yang harus aku lakukan?? Tanyaku dalamkebingungan.
Oh please help me GOD!
“Rit, aku lihat dalam tiga hari ini kamu nggak fresh, kenapa?” Dina bertanya.
Aku bingung menjawabnya, apa aku harus jujur.
“Rit….?” Dina mencoba bertanya lebih keras.
Dia menatap tajam ke arahku.
“Ya Din…, gini lho, tiga hari yang lalu aku menemukan sebuah diary entah milik siapa, aku tidak mengetahuinya.
“Jadi kamu bingung dengan hal itu?”
“He…eh!”
“Ha..ha..ha…!” Dina ketawa sampai ngakak.
“Ihh,.. kok diketawain sih, gimana donk?”
“Ya ampun tinggal buka aja, pusing-pusing amat, Amat saja ga pusing, heee!”
“Ga lucu..!” aku merengut. “Inikan buku diary. Ini termasuk privasi!”
“Eh neng dari pada dibikin pusing. Mana tuh buku?”
Aku ambil buku diary itu dari dalam tas dengan pelan.
“Sini ….sini, ini yah aku buka aja gini kok ribet!”
“Stop jangan!” aku rebut kembali buku yang tengah dipegang Dina.
“Bukannya ngasih solusi malah nambah bikin pusing!” gerutuku.
***
“Buka, nggak.., buka…, nggak…!”
“Nggak, nggak boleh dibuka, inikan barang privasi milik orang lain.”
Ku tutup pelan daun jendela yang masih terbuka. Ku lihat malam merangkak tua. Ku mencoba memejamkan kelopak mata untuk menuju mentari esok. Tapi pikiranku masih terbayang-bayang oleh buku itu.
Tiba-tiba … lamunanku membawa pada sebuah ide. Aku mulai tersenyum.
Mungkin cara ini akan bias berhasil. Aku akan coba lakukan itu besok.
***
Pagi menjelang. Aku tak sabar memberitahukan rencanaku ke Dina.
Di sekolah aku mencari-cari Dina.
“Din…!”
“Ehhh..!
“Aku punya rencana tentang buku diary itu!”
“Rencana apa..?” Tanya Dina datar.
Aku membisikan rencanaku ke telinga Dina. Dia kegelian, tapi akhirnya dia setuju. Walaupun awalnya dia nampak tidak percaya dengan apa yang mau aku lakukan.
“Bantu aku ya, friend..!”
Tanpa menunggu isyarat Dina aku segera menarik tangannya dan mulai beraksi.
Kami menempelkan kertas yang berisi pengumuman tentang buku diary merah jambu yang ketinggalan di bis. Siapa yang merasa kehilangan supaya menghubungi aku.
Semangat kami tidak sia-sia. Dengan hanya beberapa saat kertas-kertas itu sudah berpindah di dinding setiap sudut sekolah.
“Yes.. selesai,” Aku dan Dina duduk kelelahan.
***
“Haaa…haa…haa…
Hampir semua teman yang yang membaca pengumuman itu tertawa membaca pengumuman itu.
“Kurang kerjaan banget sih, nempel-nempel gitu!” beberapa di antara mereka bahkan berkomentar.
Aku tak memikirkan omongan mereka, yang ada hanyalah segera melepas tanggung jawab.
Tiga hari menjelang.
“Din sudah tiga hari pengumuman dipajang”.
“Ya udah Rit, buka aja!”
“Tapi….., ya udah deh, orang ga ada yang ngerasa memiliki.” Aku akhirnya menurut pada kata-kata Dina.
Aku buka pelan. Aku sangat berharap ada nama pemiliknya di dalam diary tersebut.
Hatiku mulai dag, dig, dug… keringat dingin mulai sedikit keluar.
Jujur aku merasa tidak enak pada si empunya diary. Soalnya mana ada orang yang mau buku diarynya dibaca orang lain. Tapi ahhh…
“Kamu aja yang buka Din!” Aku berikan buku itu pada Dina.
Dina segera mengambil buku itu. Dan tanpa canggung dia terlihat mulai membuka diary itu. Aku membuang pandangan pada tempat lain.
“Haaaa… haaa…haaa…!” Dina tertawa keras.
“Apaan sih loh!” tanyaku degan raut cutek.
“Din, jadi buku yang selama ini kamu jaga dan sampai pajang pengumuman Cuma buku diary kosong. Haaaa….haaaa….haaa!”
Aku dan Dina tertawa geli dengan kejadian ini.
“Haaaa…haaaa…haaaa…!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar